PEMILIHAN REKTOR, UNILA BEBAS KORUPSI?

Selasa 27-12-2022,12:03 WIB
Reporter : Redaksi
Editor : Redaksi

Oleh Rismayanti Borthon (Alumni FP Universitas Lampung) Imbas dari ditangkapnya Karomani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pemilihan rektor baru Universitas Lampung (Unila) akhirnya digelar lebih awal. Kamis kemarin Senat Unila telah menetapkan tiga calon. Tahap selanjutnya rektor definitif akan ditetapkan dalam beberapa hari ini melalui mekanisme hitung suara ulang dan ditambah dari Menteri Pendidikan. Berdasarkan hasil voting dalam rapat senat tertutup, dari total 47 suara, hasilnya jumlah suara terbanyak diperoleh Prof. Ir. Suharso, Ph.D., 21 suara, disusul Prof. Dr. dr. Asep Sukohar, S.Ked. M.Kes., 10 suara, dan posisi ketiga Prof. Dr. Ir. Lusmeilia Afriani, D.E.A., IPM., dengan 7 suara. Komposisi tiga nama ini sungguh menarik. Tampak bahwa semangat berbenah Unila untuk menghalau aroma korupsi masih loyo. Betapa tidak, ketiga nama ini semuanya pernah masuk dalam pusaran pemberitaan ketika Karomani ditangkap. Untungnya Suharso belakangan ternyata semakin tidak terlihat ada di dalam jejaring Karomani. Nah, yang membuat tercengang adalah Asep Sukohar. Nama yang bolak-balik disebut sebagai penadah uang setoran gelap ke Karomani, malah dapat meraup 10 suara. Ini artinya ada 21 persen anggota senat yang seharusnya berkewajiban mengawal norma dan integritas akademik, memilih untuk bermain api. Memilih menggadaikan reputasinya demi mendukung Asep Sukohar sang operator Karomani. Dahsyat! Lalu bagaimana dengan Lusmeilia Afriani? Namanya pun, meski tak segencar Asep Sukohar, tersebutkan dalam daftar 40 orang (calon) donatur yang digadang Karomani sebagai kawan seiring. Ada 7 suara senat (hampir 15 persen) mendukung Lusmeilia. Mudah-mudahan 7 orang ini hanya khilaf karena tersebabkan berteman baik dengan Lusmeilia. Semoga nanti mereka menyadari bahwa memilih Rektor itu bukan sekedar pertemanan. Bukan sekedar silaturahmi pribadi tetapi pertanggungjawaban etik dalam sebuah organisasi keilmuan yang berdampak pada jaminan kualitas sumber daya manusia. Sementara Suharso sepertinya menjadi pilihan yang ngeri-ngeri sedap. Ngeri karena yang bersangkutan sebagai salah satu Wakil rektor era Karomani, in daily basis, selalu berinteraksi dengan Rektor. Sebagai sebuah \"tim\" rektorat, jelas Suharso kerap bertemu dengan Karomani. Sedap karena berbagai pihak menyatakan Suharso tidak ikut cawe-cawe atas ulah Karomani yang menyimpang. Namun apakah benar demikian? Mungkin solusinya adalah Senat Unila perlu merancang statuta bahwa pemilihan rektor adalah sebuah sebuah momen gerakan anti-korupsi. Jadi sewaktu-waktu Rektor dapat dinonaktifkan jika yang bersangkutan tiba-tiba memiliki masalah hukum yang terkait dengan bentuk-bentuk tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Setahun memilih rektor sampai 2-3 kali tak apa andai ternyata Senat Universitas tidak cermat memilih Rektor dan meloloskan orang yang bermasalah. Statuta ini bukanlah menjadi celah permisif bagi kandidat-kandidat yang telah berkali-kali ke persidangan dan namanya seringkali disebut terkait ini-itu. Malah sebaliknya, statuta ini harus memperketat dan menjadi dasar obyektif kampus untuk menghalau segala gelagat praktik korup. Anggota senat harus malu jika sampai salah memilih orang dan berkali-kali salah memilih rektor. Pun seharusnya anggota senat universitas mesti bisa memfasilitasi uji publik. Mendengar suara publik. Mau untuk lebih berlelah-lelah mengonfrontir para kandidat dengan suara-suara sinis masyarakat. Anggota senat universitas tidak bisa melulu berlindung bahwa proses pemilihan rektor telah memenuhi prosedur. Rugi sekali negara ini bila orang-orang yang semestinya memiliki integritas sandaran utamanya malah hanya merujuk pada prosedur formal. Para anggota senat mesti mengutamakan substansi di atas prosedur. Substansi apa? Substansi yang fokus untuk memilih figur yang relatif paling bersih dan figur yang memiliki komitmen tinggi pada kualitas akademik. Plus figur yang memiliki horison dan jejaring luas. Figur yang betul-betul menyadari bahwa kampus adalah pusat peradaban. Suharso yang berpengalaman di Rektorat, sebenarnya menjadi pilihan yang paling layak bagi Unila kalau memang Suharso benar-benar bebas dari ulah aneh-aneh Karomani. Mengapa? Karena jika Suharso yang terpilih sebagai Rektor, Unila dapat dengan tegak menunjukkan, ditengah pusaran KKN, masih ada sosok-sosok yang berintegritas. Masih ada figur yang tidak silau dengan gemerlapnya materialisme. Pada figur lain, bila melihat kondisi Lusmeilia yang mungkin besok-besok mesti mondar-mandir ke pengadilan menjelaskan posisinya terkait namanya ada di daftar heboh (calon) donatur Karomani, sepertinya untuk mengawaki organisasi yang sedang _turbulance_ seperti Unila saat ini, Lusmeilia jelas memerlukan energi ekstra. Mampukah? Apapun, Unila kini mesti memilih salah satu dari tiga nama itu. Publik akan terus mengamati dan menilai. Apabila yang muncul adalah nama yang sudah tersedak asap KKN Karomani, bencana bagi Unila. Persepsi Indeks Akademik di Unila akan terjerembab pada titik yang paling rendah (*)

Tags :
Kategori :

Terkait