RADARTANGGAMUS.CO.ID — Kepala BKKBN Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K) mengungkapkan percepatan penurunan stunting yang terjadi dalam dua tahun belakangan dipengaruhi juga oleh faktor sensitif di antaranya berupa pengadaan air bersih atau layak minum dan sanitasi seperti jamban.
"Alhamdulillah, yang berisiko stunting telah turun menjadi 21,6 persen (SSGI 2022) sebagai dampak positif tatakelola air bersih dan sanitasi. Juga perbaikan rumah tidak layak huni," ujar Kepala BKKBN saat menerima audiensi siswa Sekolah Kantor Staf Presiden RI, Rabu siang (12/07/2023), di Ruang Sekretariat Stunting, BKKBN Pusat, Jakarta.
Para siswa didampingi jajaran Kantor Staf Presiden, dan turut hadir Perwakilan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Bidang Sanimas dan PAM Simas)
Dr. Hasto mengatakan, terjadinya percepatan penurunan stunting (PPS) juga didukung intervensi para menteri, gubernur, bupati dan walikota melalui program PPS di tingkat daerah. Termasuk adanya gerakan Bapak Asuh Anak Stunting (BAAS) yang melibatkan banyak kalangan dari lingkungan TNI/Polri, pemerintah, perusahaan swasta hingga masyarakat.
"Intervensi PPS kita lakukan secara keroyokan (gotong royong). Alhamdulillah, hasilnya terlihat, dan pada 2024 nanti diharapkan target 14 persen prevalensi stunting terwujud. Atau bisa jadi di bawah itu melihat gerakan PPS sangat masif dilakukan," ujar dr. Hasto penuh semangat.
Di tengah angka prevalensi stunting yang menurun sekitar 2,8 persen per tahun, dr. Hasto mengakui bahwa indikator stunting masih terlihat belum membaik. "Inilah yang nanti kita selalu rapat koordinasi dalam rangka mengawal indikator ini tercapai," tandas dr. Hasto.
Lebih jauh, dr. Hasto menjelaskan bahwa intervensi terhadap kasus stunting juga dilakukan berdasarkan faktor spesifik. Seperti pemberian tablet tambah darah kepada ibu hamil yang berisiko melahirkan anak stunting karena kurang energi kronis. Intervensi yang sama juga dilakukan terhadap remaja putri yang anemia.
Dr. Hasto juga mengingatkan para ibu agar memberikan ASI eksklusif kepada bayinya selama enam bulan. Data yang dimiliki BKKBN menunjukkan saat ini pemberian ASI eksklusif baru 66 persen. "Targetnya lebih dari 70 persen. Kalau bayi tidak mendapatkan ASI eksklusif wajar kalo stunting karena itu sumber (gizi) utama bayi," tutur dr. Hasto.