LIRA Menduga Ada Permainan Pajak Tanah di Aceh Besar, Desak APH Usut

Kamis 01-02-2024,13:21 WIB
Reporter : Rio Aldipo
Editor : Rio Aldipo

Selanjutnya,dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang diperoleh dari harga transaksi atau nilai pasar, sedangkan pengenaan pajak berdasarkan NJOP digunakan apabila NPOP tersebut tidak diketahui atau lebih rendah dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadi perolehan.

Dalam pelaksanaan proses verifikasi oleh DPKKD Aceh Besar tersebut berlangsung lama, apalagi jika pejabat yang berwenang dalam berhalangan maupun dalam sedang melaksanakan dinas luar kota. Tidak adanya penunjukan pejabat pengganti yang dapat melanjutkan proses verifikasi tersebut untuk mempercepat pelayanan.

Indikasinya diduga pada proses verifikasi oleh DPKKD Aceh Besar telah ikut turut serta cawe-cawe secara langsung menentukan harga pasar yang telah disepakati para pihak sehingga telah bertentangan dengan Surat Edaran Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor SE-12/MK.07/2014, Nomor 593/2278/SJ, Nomor 4/SE/V/2014, Surat Edaran Bupati Aceh Besar Nomor 903/002/SE/BPHTB/2014 tanggal 31 Oktober 2014, Surat Bupati Aceh Besar Nomor 900/4795 tanggal 26 Agustus 2014 tersebut diatas serta bertentangan dengan azas kebebasan berkontrak yang diatur dalam pasal 1320, 1338, 1313, 1321, 1234 KUHPerdata.

Dugaan cawe-cawe petugas dan pejabat yang berwenang di DPKKD Aceh Besar maka terbuka besar peluang negosiasi dengan calon wajib pajak sehingga terjadilah kesempatan tindak pidana penyuapan, gratifikasi dan korupsi, sehingga pada akhirnya menjadi sumber kebocoran Pendapatan Asli Daerah.

Apalagi petugas pada DPKKD Aceh Besar banyak yang sudah bertugas lebih dari 5 (lima) tahun pada dinas tersebut, hal ini menciptakan sistem kerja sindikasi kartel dan mafia pajak yang terstruktur dan masif. 

“Hal ini dikarenakan sistem suasana kerja yang berhubungan langsung dengan kebijakan finansial yang membuka peluang negosiasi. Seperti kita ketahui bahwa pekerjaan yang berhubungan langsung dengan kebijakan finansial tidak bisa dilaksanakan oleh petugas/pejabat lebih dari 2 (dua) tahun karena akan terbentuk sindikasi jaringan-jaringan kartel dalam pelaksanaan tugas tersebut. Untuk itu perlu kiranya diadakan rotasi dan penyegaran secara rutin setiap 1 (satu) atau 2 (dua) tahun sekali untuk menghindari praktik-praktik korupsi, penyuapan dan gratifikasi,” beber Ari. 

Apalagi itu, lanjut Ari,dengan adanya situasi keadaan sistem pelayanan yang tidak sehat tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang berdampak buruk kepada iklim investasi dan mengancam pendapatan asli daerah di Kabupaten Aceh Besar.

"Mengingat permasalahan tersebut di atas maka perlu kiranya Kami menyarankan kepada Bapak PJ Bupati dan DPRK Aceh Besar untuk membangun suatu pelayanan pembayaran pajak daerah yang terintegrasi dengan sistem Informasi Teknologi (IT) yang dapat meminimalisir hubungan antara petugas dan wajib pajak yang berujung pada negosiasi," saran Ari.

Sehingga dapat menghapus praktik-praktik pelayanan model sindikasi/mafia/kartel/cawe-cawe yang menguntungkan individu-individu dan kelompok tertentu tetapi efeknya berdampak sangat memberatkan para investor, developer pengembang dan masyarakat umum lainnya

“Perlu kiranya segenap aparat penegak hukum seperti jajaran Polda Aceh, Kejati Aceh, BPK Aceh, BPKP Aceh, Inspektorat Aceh dan semua unsur supervisi ikut mengevaluasi, memeriksa dan mengawasi secara rutin pelaksanaan pelayanan pemungutan pajak daerah ini di seluruh Propinsi Aceh khususnya Kabupaten Aceh Besar,”tandas Ari Purba.(*)

Kategori :