Marak Pungli dan Membahayakan, Warga Ingin Jembatan Ditutup
SEMAKA—Peristiwa ambrolnya jembatan gantung penghubung Pekon Banjarnegara-Pekon Kanoman yang meyebabkan tiga korban tewas ternyata menyingkap tabir lain, yakni adanya dugaan praktik pugutan liar (pungli) di lokasi jembatan gantung. “Jumlahnya nggak pasti. Kadang Rp2 ribu, itu untuk warga yang sudah biasa melintas. Tetapi kalau yang melintas adalah orang luar atau bukan warga sekitar, punglinya mulai dari Rp5 ribu sampai Rp10 ribu sekali melintas,” ungkap salah seorang warga yang mewanti-wanti agar namanya tak disebutkan. Indikasi praktik pungli yang memanfaatkan keberadaan jembatan gantung itu terbilang sudah cukup meresahkan. Warga mempertanyakan peruntukan uang hasil pungli di jembatan gantung itu. Karena jika uang itu digunakan untuk perawatan atau pemeliharaan jembatan, mungkin masih bisa dimaklumi. “Tetapi fakta yang ada, kondisi jembatan semakin lama, semakin memprihatinkan. Sementara praktik pungli berlangsung setiap hari. Pertanyaannya: ke manakah uang hasil pungli dari warga yang melintasi jembatan gantung itu? Apakah masuk ke kas pekon, kas karang taruna, atau masuk dan memperkaya kantong sekelompok orang tertentu? Itulah yang menjadi tugas para aparat penegak hukum,” keluh warga. Selain dugaan pungli, juga ada kejanggalan yang sangat menohok mata. Pasalnya, pada Minggu siang saat heboh pencarian jasad Danang, jembatan gantung sudah disegel dengan police line. Suatu lokasi yang disegel dengan police line,artinya adalah lokasi wajib steril dari segala aktivitas manusia pasca-sebuah kejadian. Sebab, itu merupakan sebuah Tempat Kejadian Perkara atau dalam istilah ilmiah hukum disebut locus delicti. Entah bagaimana ceritanya, apa alasannya, dan siapa yang melepasnya, police line yang terpasang di jembatan gantung Minggu siang, pada Senin (13/11) sudah tidak ada lagi. Padahal jembatan gantung tersebut merupakan locus delicti jatuhnya Adi, Anton, dan Danang hingga ketiganya meregang nyawa di Way Semaka. Masyarakat yang menggantungkan aktivitas dan mobilitas sehari-harinya pada jembatan gantung itu, sangat mendambakan peningkatan pengamanan dari kepolisian. Sebab, praktik pungli sudah dilakukan terang-terangan pada siang hari. Pada malam harinya, lebih parah lagi. Bahkan jembatan gantung itu menjadi pangkalan para preman untuk memalak warga yang melintas malam hari. “Setelah mendapatkan ‘upeti’ dari warga yang melintas, para preman yang biasa mangkal di sana, sering mabuk-mabukkan minuman keras dan berbuat onar. Bukan tidak mungkin, Adi dan Anton yang lebih dulu jatuh dari jembatan gantung, adalah korban pemalakan para preman. Karena waktu adalah Sabtu malam, yang merupakan waktu ideal para muda-mudi. Tapi itu semua baru dugaan,” pungkas narasumber berusia paruh baya itu. Sementara itu, dari pihak keluarga korban tenggelam juga meminta agar pemkab menutup jembatan gantung, pasalnya kondisinya sudah tidak layak lagi, sekalipun lantainya diganti dengan kayu yang baru. “Kami sayangkan kok jembatan itu Senin sudah dibuka lagi, bahkan garis polisi sudah tidak ada. Kan jembatan itu sudah memakan korban dimana tiga nyawa melayang, jadi kami menilai jika kondisi jembatan sudah tidak manusiawi lagi untuk dilalui,” kata Mulyono yang tinggal di Pekon Bangunrejo. Mulyono juga mengaku bahwa sebutan jembatan tidak manusiawi itu didasari dari kondisi fisik jembatan dimana kabel sling sudah banyak yang rapuh, begitu juga dengan besi bawah sebagai penyangga yang keropos.” Itu jembatan terakhir diperbaiki tahun 2009 lalu, itupun sifatnya darurat, kalau dilihat dari bawah, terlihat banyak besi yang sudah keropos,” kata dia. Ia juga mengaku sudah mewanti-wanti seluruh keluarganya agar tidak melintasi jembatan gatung Banjarnegara.” Ya, sudah saya peringatkan agar tidak melewati jembatan gantung lebih baik pakai perahu atau lewat Pekon Karanganyar biar jauh yang penting selamat,” pungkas Mulyono. Terpisah, Camat Semaka, Edy Fahrurrozi membantah adanya praktik pungli diatas jembatan gantung, menurut dia, penjaga jembatan tidak memaksa untuk meminta uang.” Posisi mereka itu untuk menjaga, sehingga yang lewat dari dua arah bisa bergantian. Mereka juga tidak mematok, berapapun dikasih diterima, bahkan banyak juga yang tidak kasih, seperti anak sekolah itu tidak bayar,” kata Edy. Kemudian saat disinggung mengenai uang pemungutan jembatan, Edy mengaku tidak tahu pasti.” Saya tidak tahu soal itu, kepala pekonnya saja pas saya tanya tidak tahu, yang jelas itu inisitif warga, dan uangnya juga digunakan untuk memperbaiki jembatan kalau ada kerusakan,” ujarnya. Lalu mengenai adanya masukan dan saran dari warga agar jembatan ditutup, Edy mengaku belum dapat memutuskan, sebab jembatan merupakan aset Pemkab Tanggamus, kemudian untuk pengajuan juga harus dari warga melalui kepala pekon yang disampaikan melalui camat. “Memang jembatan gantung itu sekarang menuai pro dan kontra, ada warga minta ditutup ada pula yang minta agar tetap dibuka. Terkait mekanisme penutupan, kami akan berkoordinasi dengan pihak terkait seperti Dinas PUPR dan BPBD. Dan juga untuk penutupan harus ada usulan dari masyarakat yang disampaikan oleh kepala pekon, nah, sejauh ini belum ada usulan resmi,” tandas Edy.(ayp/ral)
Sumber: