Dipaksa Kerja Rodi Hingga Kelaparan. Berikut Ini Cerita Misteri Pembangunan Jembatan Ireng

Dipaksa Kerja Rodi Hingga Kelaparan. Berikut Ini Cerita Misteri Pembangunan Jembatan Ireng

Berikut ini cerita pembangunan jembatan ireng yang penuh misteri. Foto jawapos.com--

 

RADARTANGGAMUS.CO.ID-- Jembatan Ireng penghubung antara Desa Ngingasrembong dengan Desa Karangkedawang, Kecamatan Sooko, berumur ternyata umurnya sudah lebih dari seabad.

Konon, bangunan jembatan bekas angkutan tebu era kolonial berlumur darah pribumi.

Sedikitnya ada tiga orang diceritakan tewas kelaparan selama proses pembangunan jembatan.

Kenapa Dinamai Jembatan Ireng sebab rangka besi jembatan penuh karat dan tampak kehitaman.

Dalam berbagai perjalanan sejarah, jembatan sepanjang kurang lebih 150 meter yang melintang di Kali Watudakon itu dibangun sekitar tahun 1915-1920.

Jika dihitung umurnya seabad lebih. Meski kondisinya sudah rusak dan reyot, namun jembatan ini masih dimanfaatkan menjadi jalur alternatif.

Menurutnya warga sekitar, Barjo jembatan yang dikelilingi lahan pertanian ini sudah ada sebelum dirinya lahir.

Awalnya, jembatan yang beberapa rangka besinya sudah copot dan permukaannya telah miring ini dibangun untuk jalur angkutan tebu.

Setelah bertahun-tahun kemudian, keberadaan jembatan beralih fungsi dan menjadi akses warga.”Jika tidak lewat sini warga harus lewat Jembatan Rejoto yang jauh,” imbuh dia.

Di balik kekokohannya, pembangunan Jembatan Ireng ternyata menyimpan cerita kelam.

Diceritakan, jila proyek jembatan ini dalam pembangunannya melibatkan para penduduk pribumi.

Saat itu mereka dipaksa kerja oleh pemerintah kolonial dalam membangun jembatan.

Tidak sedikit di antaranya yang mengalami kelaparan bahkan sampai disiksa.

”Banyak pekerja yang dipaksa dan tidak dibayar, mereka adalah nenek moyang kita,” ungkapnya.

Pria 40 tahun yang mengaku mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan makhluk gaib ini mengatakan.

Ada tiga orang pribumi yang tewas saat berlangsungnya proses pembangunan jembatan.

Sebagian besar mereka mati disebabkan kelelahan dan kelaparan.

”Jadi selama mereka bekerja tidak boleh ada yang istirahat, sampai dia kehabisan tenaga akhirnya jatuh,” tutur dia.

Barjo menyatakan, ketika dirinya berada di jembatan, yang muncul hanyalah suara tangisan dari para pekerja.

Aura penderitaan itu masih dirasakannya hingga sekarang. Dia menyebutkan sangat jelas mendengar rintih para pekerja rodi di jembatan.

Dia mengatakan, di jembatan ini ada sesosok nenek penunggu yang duduk di bawah jembatan.

Lansia yang berpakaian kebaya itu duduk di tepi Kali Watudakon.

Menurut Barjo, sosok tersebut sedang menunggu cucuknya yang tewas ketika bekerja membangun jembatan.

”Beliau tidak tega ketika melihat cucunya menangis. Tapi nenek itu pasrah karena tidak bisa menolong,”pungkasnya. (*)

Sumber: