Pemuda Pringsewu Menggugat Kewenangan Dewan Pengawas di MK
PRINGSEWU - Setelah dikeluarkanya Undang-Undang KPK baru, yaitu Undang-Undang 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi muncul pro kontra di masyarakat khususnya terkait keberadaan Dewan Pengawas. Alhasil, sejumlah pasal terkait Dewan Pengawas di dalam UU KPK digugat ke Mahkamah Konstitusi dan diminta agar ditinjau ulang konstitusionalitas aturan terkait lembaga pengawas internal di dalam lembaga anti rasuah tersebut. Uji materil aturan Dewan Pengawas ini diajukan oleh beberapa sarjana hukum dan mahasiswa dari tim Omnibus Law salah satu dari Pemuda asal kabupaten Pringsewu yakni Muhammad Ardi Langga bersama puluhan rekan-rekannya. Permohonan uji materil tersebut teregistrasi dengan No. 77/PUU-XVII/2019 yang agendanya telah disidangkan sejak tanggal 2 Desember 2019, Pukul 14.30 WIB. Praktisi hukum yang merupakan alumni Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung asal kabupaten Pringsewu, Muhammad Ardi Langga, S.H. menyatakan bahwa permohonan ini sebagai tindak lanjut dari Jihad Konstitusional untuk mengawal pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. \"Terlebih menurutnya kedudukan Dewan Pengawas dalam konstruksi normatif pada undang-undang a quo sangat bermasalah, \" Kata dia. Selain itu Lanjut Ardi Langga, para pemohon bersamaan dengan permohonan uji materiil terhadap UU KPK juga mengajukan permohonan uji materiil UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. \"Permohonan tersebut ditujukan agar Mahkamah Konstitusi kedepannya mendapatkan legitimasi formil untuk mengeluarkan putusan bersyarat (conditional decision). Sebab, Mahkamah Konstitusi sejak didirikan tahun 2003 silam hingga akhir bulan Desember 2018 telah mengeluarkan 153 putusan bersyarat dengan rincian 136 putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) dan 17 putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), \"ujarnya. Sementara dikatakan dia, Pasal 51A ayat (5) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diperbaharui dengan UU No. 8 Tahun 20011 menyatakan hanya ada 3 (tiga) jenis putusan, yaitu: Pertama, mengabulkan permohonan pemohon. Kedua, menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketiga,menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 57 ayat (3) UU a quo hanya memberikan kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk mendaftarkan ke dalam Berita Negara Republik Indonesia terhadap putusan yang amarnya menyatakan mengabulkan permohonan. \"Sehingga selama ini pemohon memandang terdapat kekosongan hukum atau bahkan ambiguitas (contradictio in terminis) terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengeluarkan putusan bersyarat. Oleh karena itu, pemohon dalam Perkara No. 77/PUU-XVII/2019 mengajukan pengujian konstitusionalitas beberapa ketentuan dalam ketiga undang-undang tersebut, \"tegas Ardi Langga. Sementara itu, Jovi Andrea Bachtiar, S.H. selaku koordinator menyatakan bahwa keberadaan pengaturan terkait kedudukan dan mekanisme pengisian jabatan dewan pengawas berpotensi melanggar prinsip-prinsip negara hukum (Rechtstaats) dan prinsip independensi pada proses peradilan (Independent Judiciary). \" Para pemohon dalam beberapa tuntutannya meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 69 ayat 1 dan Pasal 69 ayat 4 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945, menyatakan bahwa frasa ijin tertulis dan/atau ijin tertulis dari Dewan Pengawas tidak diartikan persetujuan tertulis dari Pengadilan Negeri setempat atau Mahkamah Agung, \"Pungkasnya. (Mul)
Sumber: