Kecurigaan bahwa pemutusa kWh meteran tersebut dilakukan tanpa prosedur resmi juga bertambah, saat ia melihat kertas lampiran biaya yang harus dibayar.
"Kertas tersebut asalan, mengapa demikian PLN inikan perusahaan besar milik pemerintah lagi, masa iya kertas tagihan ada nama orang lain, dan juga tidak utuh, pada saat saya pertanyakan jawabnya singkat hanya untuk sementara saja,"keluhnya.
Yovi berharap bahwa pihak PLN setempat dapat segera mengatasi permasalahan tersebut, kWh meteran yang dicabut agar dapat dipasang kembali.
"Semua pekerjaan kan ada protapnya, jika memang ada pelanggaran kenapa tidak dari bulan bulan kemarin dipersoalkan, dan jika memang resmi seharusnya melibatkan RT, ini tidak asal cabut saja, ketika akan melibatkan RT juga diperbolehkan, ini jadi pertanyaan besar, ada apa,"tandasnya.
Ia menilai petugas oknum petugas baik petugas PLN UP3 Bandarlampung serta P2TL tidak transparan dan terkesan main mata.
Beberapa alasan yang menguatkan bahwa ada main mata dalam permasalahan pencabutan secara paksa meteran listrik tersebut ialah.
Tidak ada sosialisasi atau pemberitahuan terlebih dahulu kepada pelanggan.
Lalu pencabutan meteran dilakukan dengan alasan ada pelanggaran.
Tidak melibatkan pejabat dilingkungan setempat yakni RT maupun RW dalam eksekusi pencabutan meteran.
Kemudian biaya yang dikenakan dengan dalih ada pelanggaran tiba tiba turun secara drastis dari semula Rp 7 juta menjadi Rp 1.300.00.
Lalu kertas rincian biaya yang diserahkan tidak utuh dan terkesan asal asalan.
Semestinya dalam prosedur setiap tugas yang akan dilakukan oleh pihak PLN harus melewati beberapa proses, baik sosialisasi atau melibatkan pihak RT dan juga ada tenggat waktu, yang tujuannya agar pelanggan mengetahui sebelum dilakukan pencabutan
Terlebih jika hal tersebut berkaitan langsung dengan pelanggan PLN. (*)